C.I.N.T.A___ CINTA. Satu kata berjuta makna.
Gara-gara cinta orang bisa gila. Bahkan gara-gara cinta, seseorang bisa
kehilangan nyawa. Aku dulu tidak terlalu peduli tentang cinta, tapi saat aku
menginjak usia 17 tahun, aku mulai merasakan apa yang disebut dengan
C.I.N.T.A___CINTA.
***
Dua tahun yang
lalu.
Aku sedang menghadiri pesta temanku saat aku pertama
kali melihatnya. Gadis manis bergaun putih dengan rambut panjang terurai,
namanya Karenina Anindita. Aku melihatnya ketika dia sedang main piano di acara itu. Dan setelah itu, aku
selalu memikirkannya.
Sejak perkenalan kami, aku tak pernah bisa
melupakannya. Aku mencari tahu tentang gadis itu dan ternyata dia sebaya denganku.
Kami sama-sama masih di kelas dua SMU. Aku mencari cara untuk mendekatinya. Dan
saat ada kompetisi basket antar sekolah yang kebetulan diadakan di sekolahnya,
aku langsung mengambil kesempatan itu.
Tapi sayang sepanjang pertandingan, aku tidak
melihat gadis yang biasa dipanggil Nina itu. Iya sih, dari tampangnya kelihatan
sekali dia tidak suka olah raga. Tapi, ini kan basket. Siapa yang tidak ingin
melihat pertandingan basket. Bukannya para siswi selalu mengidolakan pemain
basket sekolah mereka untuk jadi pacar? Nina memang berbeda. Dari awal aku tahu
dia adalah gadis spesial. Dia lain dari pada yang lain.
“AAKKHH.” karena melamun aku tidak sadar ada tim
lawan di belakangku dan aku pun
ditabrak.
Aku langsung jatuh tersungkur. Saat aku jatuh kakiku
terlekuk dan alhasil kakiku terkilir. Rasa sakitnya luar biasa. Akupun langsung
dibawa ke UKS. Dan di sanalah akhirnya aku menemukannya.
“Nin, tolong ambil minyak tawon.” kata guru olah
raga SMU 19, sekolah yang kudatangi.
Nina tak menjawab, hanya menuruti perintah gurunya.
Aku belum berkata apa-apa. Gadis itupun sama. Kakiku benar-benar terasa nyeri.
Guru olah raga itu menyuruh temanku yang tadi membawaku kembali ke lapangan.
Biar bagaimanapun, pertandingan harus tetap dilanjutkan. Aku menjerit-jerit
saat guru itu mengurut kakiku. Sial. Aku malu sekali. Nina melihatku dengan
iba. Malu…malu…
“Nin, kamu tolong temenin anak ini dulu ya. Bapak
masih harus ke lapangan.” kata guru itu lalu pergi setelah melihat muridnya menyanggupi.
Hatiku langsung berbunga-bunga. Akhirnya
kesempatanku untuk mendekati gadis itu datang juga. Aku berdeham. Aku harus
terlihat berwibawa kali ini.
“Apa sangat sakit?” tanyanya pelan sambil duduk di
sisi ranjang yang kutempati.
“Ah..enggak.. biasa aja.” kataku pura-pura, padahal
rasa sakitnya seperti kakiku terpelintir hebat.
Dia tersenyum. Gadis di depanku tersenyum.
Manisnya…..
“Kamu nggak nonton basket?”
Dia menggeleng. Dia memberiku sepotong coklat dan
meletakkan sisanya di meja. Akupun mengambil coklat itu tanpa basa-basi.
“Coklat mengandung endorfin, bagus untuk mengalihkan
pikiran. Jadi, mungkin kamu bisa lupa rasa nyerinya.”
Betapa baiknya dia padaku. Seharusnya dia tidak
perlu memberikan apapun, kehadirannya saja sudah menjadi anastesi untukku. Aku
bahkan sudah lupa nyeri hebat di kakiku saat melihat wajahnya. Aku tersenyum
dan mengucapkan terima kasih atas ketulusannya.
“Sedang apa di sini?” tanyaku sambil mengunyah
coklat pemberiannya.
Dia hanya menggeleng tanpa kata. Dia pelit sekali
dalam kata. Tiap kali bertanya, dia hanya menjawabnya dengan menggelengkan
kepalanya.
“Boleh pinjem handphone kamu nggak?” pintaku tanpa
basa-basi.
Aku harus bergerak cepat. Aku belum tahu kapan kami
bisa berjumpa lagi, jadi paling tidak aku harus berbuat sesuatu saat ini. Nina
langsung memberikan handphonenya
tanpa curiga sedikitpun.
Setelah memastikan nomornya dan nomorku tersimpan di
handphone kami masing-masing, aku
mengembalikan ponselnya yang berwarna
putih itu. Dia menerima handphonenya
dengan keheranan. Aku hanya tersenyum. Siapa suruh dia percaya padaku?
***
Karena aku sudah punya nomor handphone gadis itu, aku jadi suka meneleponnya atau hanya sekedar
mengirim pesan pendek. Tapi seperti biasa, dia selalu pelit dalam kata. Dia
hanya menjawab smsku dengan kata ya,
tidak atau malah hanya berupa gumaman, seperti em, oh. Pokoknya gadis itu
benar-benar membuatku uring-uringan. Baru kali ini aku jatuh cinta, dan
sekalinya jatuh cinta aku malah jatuh cinta pada gadis yang sulit didekati.
“Yu, Nina itu sukanya apa sih? Udah seminggu aku
deketin dia, tapi kayaknya nggak ada kemajuan. Gini-gini aja.” tanyaku pada Ayu,
sepupuku yang juga teman Nina di kelas piano. Mereka berdua sama-sama ikut
kursus.
“Kamu suka ya sama Nina? Percuma kamu nggak akan
berhasil. Udah nyerah aja.”
Dasar Ayu, bukannya membantu malah menjatuhkan orang
seperti itu.
“Kita liat aja nanti. Aku pasti dapetin dia.” ucapku
percaya diri.
***
Hari ini tempat kursus Ayu, sepupuku, akan mengadakan
resital piano. Aku tidak memberitahu
Nina kalau aku akan datang melihat penampilannya. Aku ingin mengejutkan pujaan
hatiku itu.
“Yah ampun Raka, aku nggak nyangka kamu mau dateng.”
kata Ayu girang.
Siapa juga yang mau melihatnya? Aku sudah bosan
melihat Ayu yang selalu disuruh bermain piano di acara keluarga kami. Dasar.
“Maaf sayang, tapi aku mau lihat bidadari, bukannya
buntelan nggak jelas kayak kamu.” sindirku yang membuat Ayu cemberut dan
langsung mengadu pada orang tuanya.
Aku begitu terpana melihat permainan Nina. Walaupun
aku tidak mengerti piano, tapi permainan piano Nina sepertinya sangat dihayati.
Beberapa penonton terlihat menangis, mereka pastilah mengerti makna dari lagu
itu. Setelah selesai, penonton memberikan standing
applause. Akupun tak ketinggalan.
“Permainan kamu bagus.” pujiku di ruang rias.
Gadis itu sedikit terkejut. Sepertinya dia tidak
suka dengan kehadiranku. Aku sedikit kecewa. Padahal aku sangat senang bertemu
dengannya. Dia memang terkejut, tapi tidak seperti yang kuharapkan.
“Ayu kan lagi tampil, kok kamu malah ke sini?”
tanyanya padaku.
“Cause I wanna see you.” jawabku jujur.
Nina terdiam. Dia melirik sebentar ke arah pintu,
entah melirik apa, lalu berdiri dan berhadapan denganku. Ya Tuhan… dia cantik
sekali. Nina memakai gaun terusan putih sederhana tapi terlihat begitu anggun
di tubuh mungilnya. Kurasa putih adalah warna kesukaannya. Dia menguncir
sedikit rambutnya kebelakang dan membiarkan sisanya terurai jatuh. Dia
benar-benar cantik. Aku pasti sangat bahagia jika bisa menjadikan dia pacarku
dan membelai rambut halus gadis manis itu.
“Ada yang harus aku luruskan Raka.” katanya dengan
wajah yang sedikit pucat. Apa dia sedang sakit?
“Ya??” aku menunggunya bicara.
“Kita hanya boleh berteman.”
Aku tidak mengerti. Apa isi hatiku sudah ketahuan?
“Well, for now…but..”
“Forever. Kita hanya akan jadi teman__selamanya.” katanya
tegas tidak membiarkanku menyelesaikan apa yang ingin kuucapkan.
Dia tidak membiarkanku masuk ke dalam hatinya.
Mungkin benar kata Ayu, aku tidak mungkin bisa mendekati Nina, tapi aku tidak
akan menyerah.
“Kenapa?” tanyaku ingin tahu.
Tapi belum juga dia menjawab pertanyaanku, ibunya
datang dan mengajaknya pergi. Meninggalkanku yang hancur karena penolakannya.
Kami belum memulai apapun, tapi dengan kejamnya dia menyuruhku mengakhiri
perasaan ini. Tuhan… apa yang harus aku lakukan?
***
Sudah sebulan berlalu, aku mencoba untuk menenangkan
hatiku. Tapi, kalau aku terus menyakiti hatiku seperti ini, mungkin aku bisa
gila. Aku harus menemuinya. Aku tidak percaya kalau ketulusanku tidak bisa
mencairkan kekerasan hatinya.
Kebetulan sekali aku harus menjemput Ayu hari ini
karena supirnya sedang pulang kampung. Kurasa aku bisa menemuinya. Dan
disanalah dia. Aku melihatnya keluar bersama sepupuku. Jantungku langsung
berdegup kencang. Sudah sebulan ini aku merindukannya. Wajahnya selalu
menghantui tidurku. Dan kini bayangannya jatuh tepat di sudut mataku.
Tuhan….aku mencintainya….
“Hari ini Nina nggak ada yang jemput, nanti abis
nganter aku, anterin Nina ya?”
“Tapi…Yu, aku bisa naik taksi.”
“Nggak ada. Nggak ada. Ngapain kamu naik taksi kalo
kita punya supir gratisan. Iya nggak Ka? Hehehe…” kata Ayu menyebalkan.
“Iya. Thanks Yu. Lagian, ada yang mau aku ngomongin
sama kamu. Please..” kataku lalu membukakan pintu depan untuknya.
Ayu yang sudah tahu perasaanku mengalah dan langsung
ke kursi belakang. Setelah mengantar Ayu, suasana jadi hening. Nina tidak
berbicara sepatah katapun. Aku juga sendiri gugup karena sudah sebulan ini kami
tidak berkomunikasi sama sekali. Tiba-tiba aku berpikiran gila.
“Apa bisa temani aku sebentar?” pintaku putus asa.
“Maaf, tapi aku harus segera pulang.” tolaknya tanpa
pikir lagi.
“Kumohon.” kataku lagi.
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi
kalau kali ini dia masih juga menolakku. Tapi untungnya dia tidak menolak. Dia
hanya terdiam dan memandang keluar
jendela. Nina….apa kau memikirkanku sebanyak aku memikirkanmu?
***
Kami tiba di sebuah taman kota. Aku langsung
membukakan pintu untuk si gadis yang hobi menghancurkan hatiku itu. Dia terlihat
manis dengan terusan kuning gading dan bandana putih yang dikenakannya. Aku
penasaran, apakah siswa-siswa di sekolahnya juga mengejar cintanya seperti yang
kulakukan selama ini?
Nina mendekati air mancur. Berdiri dengan pandangan
kosong. Aku ingin sekali bisa membaca pikiran gadis itu? Dia terlihat seperti
orang yang mempunyai masalah pelik, tapi aku tidak tahu apa itu. Sejak pertama
aku mengenalnya, aku hampir tidak pernah melihatnya tersenyum. Padahal aku
yakin, dia pasti terlihat sangat menawan jika tersenyum.
“Jangan jatuh cinta padaku Raka, kamu hanya akan
menderita.” katanya saat menyadari keberadaanku di sampingnya.
“Kenapa?”
Dia tidak menjawab.
“Ada yang bilang cinta itu kadang memang
menyakitkan, tapi kalau itu bisa membuatku bersama kamu, maka aku ingin tetap
merasakan sakitnya. Aku sudah tidak bisa mundur lagi Na, aku sudah jatuh
terlalu dalam.” kataku sungguh-sungguh.
“CUKUP!” teriaknya mengejutkanku.
Aku sudah duga. Pasti dia menyembunyikan sesuatu
dariku. Sesuatu yang membuat dia menutup hatinya untukku dan mungkin banyak
pria lain yang mengejarnya selama ini.
“Kamu tidak akan mengerti Raka. Kamu tidak boleh
cinta sama aku. Siapapun tidak boleh mencintaiku. Tidak boleh. Pokoknya tidak
boleh.”
“Tapi kenapa Na? Paling tidak kamu harus kasih
alasan yang jelas. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa?”
Jelas saja aku tidak mengerti kenapa gadis itu jadi
histeris. Dia menangis tanpa aku tahu kenapa dia menangis. Apa dia tersiksa
karena dia juga punya perasaannya yang sama denganku? Apa Nina mencintaiku
seperti aku mencintainya?
“Kenapa Na? Kenapa? Kenapa aku nggak boleh masuk ke
dalam hati kamu? Kenapa nggak kamu buka hati kamu buat aku? Kenapa???”
“Karena aku akan mati. Karena hidupku nggak akan
lama lagi. Apa kamu ngerti? Aku nggak punya hak untuk jatuh cinta. Aku nggak
punya hak untuk mencintai siapapun. Aku…. Aku sekarat. Aku benar-benar sekarat.
Jadi sebaiknya kamu pergi. Tinggalin aku sendiri.” raung Nina dengan air mata
berlinang.
Kata-kata Nina seperti petir yang menyambarku.
Memangnya dia sakit apa? Aku melihat Nina terjongkok dan menyembunyikan
wajahnya yang basah dengan air mata. Dia mencintaiku. Dia pasti mencintaiku.
Kalau dia tidak mencintaiku, dia tidak akan menderita seperti itu.
Aku mengangkat tubuh mungil itu dan menegakkannya.
Aku memegang wajah gadis yang kucintai itu dengan kedua tanganku. Matanya
sembab, dan dia masih sesenggukan.
“Apa kamu cinta sama aku?” tanyaku sungguh-sungguh.
Dia tidak menjawab dan hanya berusaha untuk
melepaskan diri dariku. Tapi aku tidak akan membuatnya menghindariku lagi. Ini
harus diselesaikan saat ini juga.
“Sumpah demi Tuhan, Karenina. Apa kamu cinta sama
aku?” tanyaku sekali lagi.
Dia menggigiti bibirnya, menangis tersedu-sedu dan
akhirnya mengangguk. Aku benar-benar bahagia, karena ternyata cintaku tidak
bertepuk sebelah tangan. Ini bukan hanya cinta sepihak seperti yang selama ini
kukira. Aku mencintainya dan dia mencintaiku. Cuma itu yang kubutuhkan saat
ini.
Aku langsung memeluk gadis ringkih itu. Dia tambah
terisak-isak. Aku memeluknya tambah erat dan berbisik perlahan.
“Aku tidak peduli berapa sisa umur yang kamu punya.
Sekalipun umur kamu tinggal sehari aku juga tidak akan peduli. Aku hanya peduli
kalau saat ini aku cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku. Cuma itu yang perlu
aku tahu.”
***
Aku bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena
sekarang, Nina sudah mau membuka hatinya untukku. Sedih, karena aku akhirnya
tahu alasan yang membuat Nina menutup diri dariku. Nina, gadis yang kucintai
itu. Setahun yang lalu, dia divonis kanker kelenjar getah bening. Dia sudah
mengikuti banyak pengobatan. Tapi, kanker itu datang lagi dan terus
menggerogoti tubuhnya. Kini, kanker ganas itu sudah berkembang menjadi stadium
tiga dan seperti yang dia katakan, mungkin waktunya tidak akan lama lagi.
Tapi, aku tidak peduli. Hidup mati itu ada di tangan
Tuhan. Bisa saja aku meninggal lebih dulu dari pada dia. Tidak karena kanker
bisa jadi karena kecelakaan atau yang lainnya. Aku hanya ingin bahagia dengan
cinta yang kupunya saat ini. Dan aku akan mendampingi Nina dan terus
menyemangati hidupnya. Dia harus tahu, hidup ini terlalu indah untuk disesali
ataupun ditangisi.
Sekarang aku punya rutinitas baru. Tiap hari, aku
menjemput Nina dari sekolah. Kadang aku juga menemaninya ke rumah sakit. Aku
sering ke toko buku menemaninya membeli buku yang disukainya, kebanyakan adalah
novel atau teenlit roman. Setiap akhir pekan kadang kami pergi ke taman
bermain. Dia kini selalu tersenyum, sesakit apapun penderitaannya saat
menjalani radiologi, kemoterapi bahkan operasi sekalipun, dia
selalu tersenyum di depanku. Aku tahu saat sendiri, dia akan menangis. Itu
wajar. Siapa yang tidak akan menangis saat kita harus bertarung melawan
kematian setiap harinya? Tapi, aku dan keluarganya tidak akan lelah untuk
selalu mendampinginya. Tidak bahkan saat ia menangis dalam kesendirian. Kami
akan selalu mendampinginya sampai kapanpun.
***
“Wajahnya seperti malaikat, penuh kepolosan, penuh
kedamaian.” komentar salah satu pengunjung pameran.
Saat aku lulus SMU sebulan yang lalu, aku langsung
mengumpulkan semua foto-foto Nina yang kupunya. Dari SMP aku memang sudah suka
fotografi. Aku ikut kursus fotografi dan saat usia enam belas tahun, aku sudah
menjadi profesional dalam menggunakan kamera.
Sebenarnya, sejak pertama kali aku bertemu dengan
Nina, aku sudah mengabadikan gambarnya, entah itu dengan kamera handphone ataupun kamera yang memang sengaja
aku bawa untuk mengabadikan gambarnya. Terkadang aku juga datang ke tempat
kursusnya lebih awal, agar aku bisa mencuri gambarnya. Lagi, lagi dan lagi.
Kini foto-foto itu sudah berjumlah ribuan dan aku
memilih beberapa puluh foto untuk kupamerkan. Ternyata respon pengunjung sangat
bagus. Karena aku mengambil gambar secara diam-diam, jadi ekspresi si model
sangat jujur dan natural. Itu membuat kesan yang mendalam di setiap foto yang
kupajang di pameran. Terima kasih untuk orang tuaku yang telah membantuku
mewujudkan impianku. Aku ingin seluruh dunia tahu siapa gadis di foto itu,
bagaimana kehidupannya dan bagaimana perasaanku padanya. Semua. Semua akan
kuberitahukan pada mereka.
“Iya, ini adalah saat dia mengikuti resital piano.
Lihatlah! Kontur wajahnya begitu jelas. Dari gambar ini kita bisa lihat
penghayatannya dalam memainkan piano. Apa anda setuju dengan saya?”
“Absolutely right. Anda pasti sangat mencintainya.”
kata pengunjung lain yang hanya kujawab dengan senyuman.
Itu benar. Aku memang mencintainya. Teramat sangat
mencintainya. Itu semua kutulis di jejaring facebook,
twitter, youtube, bahkan aku menulis buku untuk mengungkapkan betapa aku
mencintai fotografi dan… dia. Sekalipun dia sudah tidak ada lagi di dunia ini
sejak setahun yang lalu. Sekalipun yang kupunya kini hanyalah gambar-gambarnya,
aku tetap mencintainya.
Raganya mungkin tak ada lagi, tapi semangat dan
cintanya akan selalu hidup dalam hatiku. Karena dia, Karenina Anindita,
kekasihku. Dialah gadis pertama yang mengenaliku apa artinya cinta. Dialah
gadis pertama yang kucintai dan begitu ingin kumiliki. Dia yang membuat satu
kata menjadi jutaan makna dalam hidupku. Dia yang membuat aksara C.I.N.T.A
menjadi alasanku tetap bertahan sampai sekarang. Walau tanpa dirinya. Suatu
hari mungkin akan ada cinta lain yang menyapaku, tapi dia dan cintanya akan
selalu terpatri menjadi sebuah kenangan manis yang tidak akan pernah aku
lupakan. Dia dan cintanya akan selalu mengingatkanku betapa dalamnya makna dari
C.I.N.T.A.
---------------------------------------------TAMAT--------------------------------------------------