Rabu, 22 April 2015

C.I.N.T.A


C.I.N.T.A

C.I.N.T.A___ CINTA. Satu kata berjuta makna. Gara-gara cinta orang bisa gila. Bahkan gara-gara cinta, seseorang bisa kehilangan nyawa. Aku dulu tidak terlalu peduli tentang cinta, tapi saat aku menginjak usia 17 tahun, aku mulai merasakan apa yang disebut dengan C.I.N.T.A___CINTA.
***
Dua tahun yang lalu.
Aku sedang menghadiri pesta temanku saat aku pertama kali melihatnya. Gadis manis bergaun putih dengan rambut panjang terurai, namanya Karenina Anindita. Aku melihatnya ketika dia sedang main  piano di acara itu. Dan setelah itu, aku selalu memikirkannya.
Sejak perkenalan kami, aku tak pernah bisa melupakannya. Aku mencari tahu tentang gadis itu dan ternyata dia sebaya denganku. Kami sama-sama masih di kelas dua SMU. Aku mencari cara untuk mendekatinya. Dan saat ada kompetisi basket antar sekolah yang kebetulan diadakan di sekolahnya, aku langsung mengambil kesempatan itu.
Tapi sayang sepanjang pertandingan, aku tidak melihat gadis yang biasa dipanggil Nina itu. Iya sih, dari tampangnya kelihatan sekali dia tidak suka olah raga. Tapi, ini kan basket. Siapa yang tidak ingin melihat pertandingan basket. Bukannya para siswi selalu mengidolakan pemain basket sekolah mereka untuk jadi pacar? Nina memang berbeda. Dari awal aku tahu dia adalah gadis spesial. Dia lain dari pada yang lain.
“AAKKHH.” karena melamun aku tidak sadar ada tim lawan  di belakangku dan aku pun ditabrak.
Aku langsung jatuh tersungkur. Saat aku jatuh kakiku terlekuk dan alhasil kakiku terkilir. Rasa sakitnya luar biasa. Akupun langsung dibawa ke UKS. Dan di sanalah akhirnya aku menemukannya.
“Nin, tolong ambil minyak tawon.” kata guru olah raga SMU 19, sekolah yang kudatangi.
Nina tak menjawab, hanya menuruti perintah gurunya. Aku belum berkata apa-apa. Gadis itupun sama. Kakiku benar-benar terasa nyeri. Guru olah raga itu menyuruh temanku yang tadi membawaku kembali ke lapangan. Biar bagaimanapun, pertandingan harus tetap dilanjutkan. Aku menjerit-jerit saat guru itu mengurut kakiku. Sial. Aku malu sekali. Nina melihatku dengan iba. Malu…malu…
“Nin, kamu tolong temenin anak ini dulu ya. Bapak masih harus ke lapangan.” kata guru itu lalu pergi  setelah melihat muridnya menyanggupi.
Hatiku langsung berbunga-bunga. Akhirnya kesempatanku untuk mendekati gadis itu datang juga. Aku berdeham. Aku harus terlihat berwibawa kali ini.
“Apa sangat sakit?” tanyanya pelan sambil duduk di sisi ranjang yang kutempati.
“Ah..enggak.. biasa aja.” kataku pura-pura, padahal rasa sakitnya seperti kakiku terpelintir hebat.
Dia tersenyum. Gadis di depanku tersenyum. Manisnya…..
“Kamu nggak nonton basket?”
Dia menggeleng. Dia memberiku sepotong coklat dan meletakkan sisanya di meja. Akupun mengambil coklat itu tanpa basa-basi.
“Coklat mengandung endorfin, bagus untuk mengalihkan pikiran. Jadi, mungkin kamu bisa lupa rasa nyerinya.”
Betapa baiknya dia padaku. Seharusnya dia tidak perlu memberikan apapun, kehadirannya saja sudah menjadi anastesi untukku. Aku bahkan sudah lupa nyeri hebat di kakiku saat melihat wajahnya. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih atas ketulusannya.
“Sedang apa di sini?” tanyaku sambil mengunyah coklat pemberiannya.
Dia hanya menggeleng tanpa kata. Dia pelit sekali dalam kata. Tiap kali bertanya, dia hanya menjawabnya dengan menggelengkan kepalanya.
“Boleh pinjem handphone kamu nggak?” pintaku tanpa basa-basi.
Aku harus bergerak cepat. Aku belum tahu kapan kami bisa berjumpa lagi, jadi paling tidak aku harus berbuat sesuatu saat ini. Nina langsung memberikan handphonenya tanpa curiga sedikitpun.
Setelah memastikan nomornya dan nomorku tersimpan di handphone kami masing-masing, aku mengembalikan ponselnya yang berwarna putih itu. Dia menerima handphonenya dengan keheranan. Aku hanya tersenyum. Siapa suruh dia percaya padaku?
***
Karena aku sudah punya nomor handphone gadis itu, aku jadi suka meneleponnya atau hanya sekedar mengirim pesan pendek. Tapi seperti biasa, dia selalu pelit dalam kata. Dia hanya menjawab smsku dengan kata ya, tidak atau malah hanya berupa gumaman, seperti em, oh. Pokoknya gadis itu benar-benar membuatku uring-uringan. Baru kali ini aku jatuh cinta, dan sekalinya jatuh cinta aku malah jatuh cinta pada gadis yang sulit didekati.
“Yu, Nina itu sukanya apa sih? Udah seminggu aku deketin dia, tapi kayaknya nggak ada kemajuan. Gini-gini aja.” tanyaku pada Ayu, sepupuku yang juga teman Nina di kelas piano. Mereka berdua sama-sama ikut kursus.
“Kamu suka ya sama Nina? Percuma kamu nggak akan berhasil. Udah nyerah aja.”
Dasar Ayu, bukannya membantu malah menjatuhkan orang seperti itu.
“Kita liat aja nanti. Aku pasti dapetin dia.” ucapku percaya diri.
***
Hari ini tempat kursus Ayu, sepupuku, akan mengadakan resital piano. Aku tidak memberitahu Nina kalau aku akan datang melihat penampilannya. Aku ingin mengejutkan pujaan hatiku itu.
“Yah ampun Raka, aku nggak nyangka kamu mau dateng.” kata Ayu girang.
Siapa juga yang mau melihatnya? Aku sudah bosan melihat Ayu yang selalu disuruh bermain piano di acara keluarga kami. Dasar.
“Maaf sayang, tapi aku mau lihat bidadari, bukannya buntelan nggak jelas kayak kamu.” sindirku yang membuat Ayu cemberut dan langsung mengadu pada orang tuanya.
Aku begitu terpana melihat permainan Nina. Walaupun aku tidak mengerti piano, tapi permainan piano Nina sepertinya sangat dihayati. Beberapa penonton terlihat menangis, mereka pastilah mengerti makna dari lagu itu. Setelah selesai, penonton memberikan standing applause. Akupun tak ketinggalan.
“Permainan kamu bagus.” pujiku di ruang rias.
Gadis itu sedikit terkejut. Sepertinya dia tidak suka dengan kehadiranku. Aku sedikit kecewa. Padahal aku sangat senang bertemu dengannya. Dia memang terkejut, tapi tidak seperti yang kuharapkan.
“Ayu kan lagi tampil, kok kamu malah ke sini?” tanyanya padaku.
“Cause I wanna see you.” jawabku jujur.
Nina terdiam. Dia melirik sebentar ke arah pintu, entah melirik apa, lalu berdiri dan berhadapan denganku. Ya Tuhan… dia cantik sekali. Nina memakai gaun terusan putih sederhana tapi terlihat begitu anggun di tubuh mungilnya. Kurasa putih adalah warna kesukaannya. Dia menguncir sedikit rambutnya kebelakang dan membiarkan sisanya terurai jatuh. Dia benar-benar cantik. Aku pasti sangat bahagia jika bisa menjadikan dia pacarku dan membelai rambut halus gadis manis itu.
“Ada yang harus aku luruskan Raka.” katanya dengan wajah yang sedikit pucat. Apa dia sedang sakit?
“Ya??” aku menunggunya bicara.
“Kita hanya boleh berteman.”
Aku tidak mengerti. Apa isi hatiku sudah ketahuan?
“Well, for now…but..”
“Forever. Kita hanya akan jadi teman__selamanya.” katanya tegas tidak membiarkanku menyelesaikan apa yang ingin kuucapkan.
Dia tidak membiarkanku masuk ke dalam hatinya. Mungkin benar kata Ayu, aku tidak mungkin bisa mendekati Nina, tapi aku tidak akan menyerah.
“Kenapa?” tanyaku ingin tahu.
Tapi belum juga dia menjawab pertanyaanku, ibunya datang dan mengajaknya pergi. Meninggalkanku yang hancur karena penolakannya. Kami belum memulai apapun, tapi dengan kejamnya dia menyuruhku mengakhiri perasaan ini. Tuhan… apa yang harus aku lakukan?
***
Sudah sebulan berlalu, aku mencoba untuk menenangkan hatiku. Tapi, kalau aku terus menyakiti hatiku seperti ini, mungkin aku bisa gila. Aku harus menemuinya. Aku tidak percaya kalau ketulusanku tidak bisa mencairkan kekerasan hatinya.
Kebetulan sekali aku harus menjemput Ayu hari ini karena supirnya sedang pulang kampung. Kurasa aku bisa menemuinya. Dan disanalah dia. Aku melihatnya keluar bersama sepupuku. Jantungku langsung berdegup kencang. Sudah sebulan ini aku merindukannya. Wajahnya selalu menghantui tidurku. Dan kini bayangannya jatuh tepat di sudut mataku. Tuhan….aku mencintainya….
“Hari ini Nina nggak ada yang jemput, nanti abis nganter aku, anterin Nina ya?”
“Tapi…Yu, aku bisa naik taksi.”
“Nggak ada. Nggak ada. Ngapain kamu naik taksi kalo kita punya supir gratisan. Iya nggak Ka? Hehehe…” kata Ayu menyebalkan.
“Iya. Thanks Yu. Lagian, ada yang mau aku ngomongin sama kamu. Please..” kataku lalu membukakan pintu depan untuknya.
Ayu yang sudah tahu perasaanku mengalah dan langsung ke kursi belakang. Setelah mengantar Ayu, suasana jadi hening. Nina tidak berbicara sepatah katapun. Aku juga sendiri gugup karena sudah sebulan ini kami tidak berkomunikasi sama sekali. Tiba-tiba aku berpikiran gila.
“Apa bisa temani aku sebentar?” pintaku putus asa.
“Maaf, tapi aku harus segera pulang.” tolaknya tanpa pikir lagi.
“Kumohon.” kataku lagi.
Aku benar-benar tidak tahu harus berkata apa lagi kalau kali ini dia masih juga menolakku. Tapi untungnya dia tidak menolak. Dia hanya terdiam dan  memandang keluar jendela. Nina….apa kau memikirkanku sebanyak aku memikirkanmu?
***
Kami tiba di sebuah taman kota. Aku langsung membukakan pintu untuk si gadis yang hobi menghancurkan hatiku itu. Dia terlihat manis dengan terusan kuning gading dan bandana putih yang dikenakannya. Aku penasaran, apakah siswa-siswa di sekolahnya juga mengejar cintanya seperti yang kulakukan selama ini?
Nina mendekati air mancur. Berdiri dengan pandangan kosong. Aku ingin sekali bisa membaca pikiran gadis itu? Dia terlihat seperti orang yang mempunyai masalah pelik, tapi aku tidak tahu apa itu. Sejak pertama aku mengenalnya, aku hampir tidak pernah melihatnya tersenyum. Padahal aku yakin, dia pasti terlihat sangat menawan jika tersenyum.
“Jangan jatuh cinta padaku Raka, kamu hanya akan menderita.” katanya saat menyadari keberadaanku di sampingnya.
“Kenapa?”
Dia tidak menjawab.
“Ada yang bilang cinta itu kadang memang menyakitkan, tapi kalau itu bisa membuatku bersama kamu, maka aku ingin tetap merasakan sakitnya. Aku sudah tidak bisa mundur lagi Na, aku sudah jatuh terlalu dalam.” kataku sungguh-sungguh.
“CUKUP!” teriaknya mengejutkanku.
Aku sudah duga. Pasti dia menyembunyikan sesuatu dariku. Sesuatu yang membuat dia menutup hatinya untukku dan mungkin banyak pria lain yang mengejarnya selama ini.
“Kamu tidak akan mengerti Raka. Kamu tidak boleh cinta sama aku. Siapapun tidak boleh mencintaiku. Tidak boleh. Pokoknya tidak boleh.”
“Tapi kenapa Na? Paling tidak kamu harus kasih alasan yang jelas. Aku nggak ngerti kamu ngomong apa?”
Jelas saja aku tidak mengerti kenapa gadis itu jadi histeris. Dia menangis tanpa aku tahu kenapa dia menangis. Apa dia tersiksa karena dia juga punya perasaannya yang sama denganku? Apa Nina mencintaiku seperti aku mencintainya?
“Kenapa Na? Kenapa? Kenapa aku nggak boleh masuk ke dalam hati kamu? Kenapa nggak kamu buka hati kamu buat aku? Kenapa???”
“Karena aku akan mati. Karena hidupku nggak akan lama lagi. Apa kamu ngerti? Aku nggak punya hak untuk jatuh cinta. Aku nggak punya hak untuk mencintai siapapun. Aku…. Aku sekarat. Aku benar-benar sekarat. Jadi sebaiknya kamu pergi. Tinggalin aku sendiri.” raung Nina dengan air mata berlinang.
Kata-kata Nina seperti petir yang menyambarku. Memangnya dia sakit apa? Aku melihat Nina terjongkok dan menyembunyikan wajahnya yang basah dengan air mata. Dia mencintaiku. Dia pasti mencintaiku. Kalau dia tidak mencintaiku, dia tidak akan menderita seperti itu.
Aku mengangkat tubuh mungil itu dan menegakkannya. Aku memegang wajah gadis yang kucintai itu dengan kedua tanganku. Matanya sembab, dan dia masih sesenggukan.
“Apa kamu cinta sama aku?” tanyaku sungguh-sungguh.
Dia tidak menjawab dan hanya berusaha untuk melepaskan diri dariku. Tapi aku tidak akan membuatnya menghindariku lagi. Ini harus diselesaikan saat ini juga.
“Sumpah demi Tuhan, Karenina. Apa kamu cinta sama aku?” tanyaku sekali lagi.
Dia menggigiti bibirnya, menangis tersedu-sedu dan akhirnya mengangguk. Aku benar-benar bahagia, karena ternyata cintaku tidak bertepuk sebelah tangan. Ini bukan hanya cinta sepihak seperti yang selama ini kukira. Aku mencintainya dan dia mencintaiku. Cuma itu yang kubutuhkan saat ini.
Aku langsung memeluk gadis ringkih itu. Dia tambah terisak-isak. Aku memeluknya tambah erat dan berbisik perlahan.
“Aku tidak peduli berapa sisa umur yang kamu punya. Sekalipun umur kamu tinggal sehari aku juga tidak akan peduli. Aku hanya peduli kalau saat ini aku cinta sama kamu dan kamu cinta sama aku. Cuma itu yang perlu aku tahu.”
***
Aku bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sekarang, Nina sudah mau membuka hatinya untukku. Sedih, karena aku akhirnya tahu alasan yang membuat Nina menutup diri dariku. Nina, gadis yang kucintai itu. Setahun yang lalu, dia divonis kanker kelenjar getah bening. Dia sudah mengikuti banyak pengobatan. Tapi, kanker itu datang lagi dan terus menggerogoti tubuhnya. Kini, kanker ganas itu sudah berkembang menjadi stadium tiga dan seperti yang dia katakan, mungkin waktunya tidak akan lama lagi.
Tapi, aku tidak peduli. Hidup mati itu ada di tangan Tuhan. Bisa saja aku meninggal lebih dulu dari pada dia. Tidak karena kanker bisa jadi karena kecelakaan atau yang lainnya. Aku hanya ingin bahagia dengan cinta yang kupunya saat ini. Dan aku akan mendampingi Nina dan terus menyemangati hidupnya. Dia harus tahu, hidup ini terlalu indah untuk disesali ataupun ditangisi.
Sekarang aku punya rutinitas baru. Tiap hari, aku menjemput Nina dari sekolah. Kadang aku juga menemaninya ke rumah sakit. Aku sering ke toko buku menemaninya membeli buku yang disukainya, kebanyakan adalah novel atau teenlit roman. Setiap akhir pekan kadang kami pergi ke taman bermain. Dia kini selalu tersenyum, sesakit apapun penderitaannya saat menjalani radiologi, kemoterapi bahkan operasi sekalipun, dia selalu tersenyum di depanku. Aku tahu saat sendiri, dia akan menangis. Itu wajar. Siapa yang tidak akan menangis saat kita harus bertarung melawan kematian setiap harinya? Tapi, aku dan keluarganya tidak akan lelah untuk selalu mendampinginya. Tidak bahkan saat ia menangis dalam kesendirian. Kami akan selalu mendampinginya sampai kapanpun.
***
“Wajahnya seperti malaikat, penuh kepolosan, penuh kedamaian.” komentar salah satu pengunjung pameran.
Saat aku lulus SMU sebulan yang lalu, aku langsung mengumpulkan semua foto-foto Nina yang kupunya. Dari SMP aku memang sudah suka fotografi. Aku ikut kursus fotografi dan saat usia enam belas tahun, aku sudah menjadi profesional dalam menggunakan kamera.
Sebenarnya, sejak pertama kali aku bertemu dengan Nina, aku sudah mengabadikan gambarnya, entah itu dengan kamera handphone ataupun kamera yang memang sengaja aku bawa untuk mengabadikan gambarnya. Terkadang aku juga datang ke tempat kursusnya lebih awal, agar aku bisa mencuri gambarnya. Lagi, lagi dan lagi.
Kini foto-foto itu sudah berjumlah ribuan dan aku memilih beberapa puluh foto untuk kupamerkan. Ternyata respon pengunjung sangat bagus. Karena aku mengambil gambar secara diam-diam, jadi ekspresi si model sangat jujur dan natural. Itu membuat kesan yang mendalam di setiap foto yang kupajang di pameran. Terima kasih untuk orang tuaku yang telah membantuku mewujudkan impianku. Aku ingin seluruh dunia tahu siapa gadis di foto itu, bagaimana kehidupannya dan bagaimana perasaanku padanya. Semua. Semua akan kuberitahukan pada mereka.
“Iya, ini adalah saat dia mengikuti resital piano. Lihatlah! Kontur wajahnya begitu jelas. Dari gambar ini kita bisa lihat penghayatannya dalam memainkan piano. Apa anda setuju dengan saya?”
“Absolutely right. Anda pasti sangat mencintainya.” kata pengunjung lain yang hanya kujawab dengan senyuman.
Itu benar. Aku memang mencintainya. Teramat sangat mencintainya. Itu semua kutulis di jejaring facebook, twitter, youtube, bahkan aku menulis buku untuk mengungkapkan betapa aku mencintai fotografi dan… dia. Sekalipun dia sudah tidak ada lagi di dunia ini sejak setahun yang lalu. Sekalipun yang kupunya kini hanyalah gambar-gambarnya, aku tetap mencintainya.
Raganya mungkin tak ada lagi, tapi semangat dan cintanya akan selalu hidup dalam hatiku. Karena dia, Karenina Anindita, kekasihku. Dialah gadis pertama yang mengenaliku apa artinya cinta. Dialah gadis pertama yang kucintai dan begitu ingin kumiliki. Dia yang membuat satu kata menjadi jutaan makna dalam hidupku. Dia yang membuat aksara C.I.N.T.A menjadi alasanku tetap bertahan sampai sekarang. Walau tanpa dirinya. Suatu hari mungkin akan ada cinta lain yang menyapaku, tapi dia dan cintanya akan selalu terpatri menjadi sebuah kenangan manis yang tidak akan pernah aku lupakan. Dia dan cintanya akan selalu mengingatkanku betapa dalamnya makna dari C.I.N.T.A.


---------------------------------------------TAMAT--------------------------------------------------


2 komentar: